Mungkin banyak yang belum tahu Jakarta
memiliki 40 buah gedung museum. Namanya pun beragam sesuai fungsinya. Seperti
Museum Taman Prasasti, tempat warga Kristen dimakamkan, termasuk para petinggi
VOC dan keluarganya ketika bertugas di Batavia. Ada Museum Komodo, Museum Rekha
Artha, Museum Keris, Museum Sejarah Jakarta, dan Museum Adam Malik. Tentu akan
sangat panjang bila diuraikan satu persatu. Yang jelas warga Ibu Kota kurang
menikmati keberadaan 40 museum itu. Karena sehari-hari lebih banyak "kesepian".
Kalaupun ada yang datang, umumnya para turis asing atau anak sekolah yang
berkarya wisata.
Di antara 40 museum, Gedung Museum
Nasional di Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat telah memperoleh nama
internasional karena kumpulan benda sejarahnya sejak masa prasejarah. Museum
tertua di Indonesia ini didirikan oleh Bataviaasche Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen atau Perkumpulan untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan. Perkumpulan ini
dibentuk 1778 oleh JCM Radermacher, anggota Dewan Hindia, dan menantu laki-laki
dari gubernur jenderal Reinier de Klerk. Bekas kediaman de Klerk hingga kini
masih berdiri dengan megah di Jl Gajah Mada dan telah direhabilitasi pemerintah
Belanda. Gedung yang memiliki pekarangan luas ini pernah dijadikan Gedung Arsip
Nasional.
Gedung Museum Nasional yang meniru vila
gaya Romawi kuno, mudah dikenali keberadaannya. Satu-satunya gedung yang di
halaman depannya di pasang patung seekor gajah perunggu, cendera mata Raja
Chulalongkorn dari Siam (Thailand) waktu berkunjung ke Batavia (1871).
Karenanya ia lebih dikenal dengan sebutan Gedung Gajah. Karena koleksinya
banyak terdapat patung (arca) ia juga dinamakan Gedung Arca.
Bagi warga Jakarta dan sekitarnya,
keberadaan museum ini juga berfungsi tempat hiburan. Pada 1950-an, ketika tempat
hiburan masih langka di Jakarta, di museum ini tiap Ahad pagi hingga sore
digelar kesenian Sunda atau Jawa. Pertunjukan yang diselenggarakan RRI Studio
Jakarta ini dihadiri pengunjung yang membludak.
Museum ini juga memiliki perpustakaana
yang banyak dikenal di mancanegara. Ini berkat dorongan Sir Thomas Raffles,
letnan gubernur Inggris (1811-1815). Raffles yang sangat memperhatikan sejarah
dan arkeologi Jawa -- patut diacungi jempol dalam ikut mendorong perkembangan
Perkumpulan Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia-- adalah pendiri Museum Nasional.
""Hindia Belanda terutama Jawa harus berterima kasih pada Raffles
yang memberikan semangat untukkemajuan perkumpulan ini,"" tulis
seorang pelancong dari Amsterdam pada awal abad ke-20.
Bangsa Belanda walaupun mereka telah
menyatakan menduduki seluruh kepulauan Nusantara, hanya mengetahui sedikit
daerah pedalaman. Tak heran jika bukan mereka yang menemukan monumen artistik
terbesar dari kehidupan Jawa kuno: Candi Borobudur. Raffleslah yang menemukakan
candi besar dan monomental itu di hutan rimba dekat Yogyakarta, yang sebelumnya
tidak diketahui Belanda.
Mendengar penemuan ini, penguasa Inggris
itu bukan saja sangat bahagia bahkan menuju ke sana dengan kereta dari Batavia
dalam perjalanan yang sulit kala itu. Raffles dalam bukunya History of Java
menceritakan, ratusan relief batu di Borobudur terlihat olehnya sebagai
pemandangan dari mitologi Hindu. Walaupun sebenarnya relief-relief tersebut
bercerita tentang Budha. Candi Borobudur sekarang ini sebagai tempat suci warga
Budha, yang selalu membanjiri candi ini pada saat-saat hari suci mereka.
Bahkan, banyak penganut Budha dari berbagai negara juga mendatangi dan
mensucikan candi ini.
Raffles, yang saat menaklukkan Batavia
(1811) dalam usia 29 tahun, dalam karier yang singkat di Jawa, didampingi
istrinya, Olivia Marianne. Wanita ini digambarkan cerdas, mengagumkan, dan
cantik. Istrinya ini meninggal di Batavia pada 1814, dan prasastinya masih
dapat kita jumpai di Museum Taman Prasasti, Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat.Raffles
yang berduka dan merasa kehilangan mengabdikan istrinya ini dalam bentuk tugu
di pintu masuk Kebon Raya Bogor, yang masih kita dapati hingga saat ini.
Raffles dan juga istrinya sangat memberikan perhatian terhadap koleksi beberapa
jenis tanaman di Kebon Raya Bogor.
Selama empat setengah tahun bertugas di
Nusantara, Raffles lebih banyak tinggal di Istana Buitenzorg (Bogor) yang
beriklim sejuk. Hanya bila ada keperluan penting, ia berkereta kuda ke Batavia.
Ketika ekspedisinya dari Penang menuju Jawa (Agustus 1811), Raffles menyaksikan
pulau Tumasik, pulau kecil yang masih berupa rawa-rawa. Instingnya yang kuat,
dia ingin menjadikan pulau ini sebagai bandar penting, yang kemudian diwujudkan
dalam bentuk kota Singapura.
Kembali ke Gedung Museum Nasional yang
memiliki koleksi lengkap masa lalu dan benda-benda seni dari seluruh Nusantara,
termasuk dari emas murni. Pada 1963, emas dan permata koleksinya telah digasak
perampok bernama Kusni Kasdut. Ketika itu, Bung Karno tengah membangun Monas
dengan puncaknya dari emas. Ada pemeo kala itu, bila ada yang berani mengambil
emas ini, hukumannya penjahat tersebut harus dijatuhkan dari puncak Monas.
Bahkan ada yang mengusulkan, para koruptor kelas kakap dilemparkan saja dari
puncak Monas.sumber, http://kotatua.blogspot.com/2006/08/museum-nasional.html